Powered By Blogger

WELCOME TO YOU

I LET YOU READ AND SHARE

31.7.07

ARTI KEMERDEKAAN

Sejak 62 tahun yang lalu kata "Merdeka" begitu populer hingga sekarang. Apalagi memasuki momen Agustus-an yang di dalamnya terdapat tanggal bersejarah lahirnya negara Indonesia tercinta. Sedemikian pentingkah merdeka itu bagi kita? Sudahkah kita memahami arti merdeka itu sendiri?
Artikel ini akan sedikit mengupas tentang cara mengartikan kemerdekaan dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Kemerdekaan bagi balita dan usia sekolah dasar
Adalah kebebasan untuk bermain. Balita beranggapan bahwa hidup ini adalah untuk bermain. Kita bisa lihat anak kecil begitu gembira mengamati semut beriringan, cecak yang mengendap-endap menangkap nyamuk atau sibuk dengan tetek ibunya. Coba saja kita merenggut kesenangannya, bisa jadi si anak akan merasa dunianya dibatasi. Ia mulai menangis, menganggap ada orang yang merebut kemerdekaannya. Kalau saja anak kecil bisa mengambil filosofi "merdeka atau mati" yang biasa dipekikkan para pejuang, mereka akan meneriakkan "merdeka atau nangis". Lain lagi dengan anak sekolah dasar. Walaupun tak lantas menjadikan tangisan sebagai senjata ampuh untuk melawan penjajah kemerdekaannya, mereka punya cara tersendiri untuk mengatasinya. Ketika anak sibuk dengan layangan sampai lupa makan atau tidur setelah pulang sekolah, atau berjam-jam bermain dengan play station atau nonton TV, itu adalah sebagian dari ekspresi kemerdekaan menurut mereka. Halangan terhadap kemerdekaan itu akan dilawan dengan cemberut, marah, bahkan mungkin amukan.
Kemerdekaan bagi anak remaja
Anak usia belasan, jika tidak terjebak dengan hal-hal negatif seperti narkoba atau miras, mempunyai cara pandang berbeda terhadap kemerdekaan. Kemerdekaan bagi mereka adalah kebebasan mengekspresikan kreativitas mereka. Akhirnya muncul grup musik, penyanyi, novelis yang produktif, kelompok kajian keilmuan yang beranggapan bahwa kemerdekaan adalah kebebasan mengembangkan diri. Bagaimana rintangannya? Ada orangtua melarang anaknya menjadi penyanyi, larangan kuliah di fakultas sastra, karena dua bidang ini hanya buang-buang energi dan tak menjamin hidup seseorang di masa akan datang. Jadi penjajahan atas kemerdekaan para remaja lebih banyak datang dari orang tua yang kurang demokratis. Remaja yang sedang jatuh cinta merasa kalau kemerdekaan adalah ketika tak ada sesuatu yang mengusik cinta mereka. Larangan orang tua karena masih sekolah mereka hadapi dengan backstreet, atau menentang karena merasa sudah dewasa dan tak perlu diatur-atur.
Bagaimana dengan yang terjebak dengan hal negatif? Dunia remaja memang dunia yang rentan. Mabuk dan Narkoba sepertinya suatu jalan yang indah bagi mereka. Ada yang hanya coba-coba dan ikut-ikutan teman bahkan ada pula yang menganggap kalau itu adalah jalan kemerdekaan. Jalan kemerdekaan yang bagaimana? Ada pemain band yang tak bisa bermain bagus kalau dia tidak mabuk sebelum bermain. Dia merasa kalau ketidakpercayaan diri memasung dia untuk tampil bebas. Akhirnya apa boleh buat itu adalah ekspresi kemerdekaan bagi dia. Kalau dia tidak mabuk maka dia tetap tidak merasa merdeka. Lupa diri yang diakibatkan oleh alkohol merupakan jalan untuk mencari kemerdekaan.
Kemerdekaan bagi para guru
Ada dua model guru yaitu guru yang idealis ada pula guru yang pragmatis. Bagaimana guru yang idealis menyikapi kemerdekaan dengan bekerja sesuai dengan profesi keguruan. Dia memandang murid sebagai sekumpulan manusia yang dia bisa arahkan untuk membangun bangsa. Akhirnya dia bekerja dengan sukacita. Kita tilik sebentar ke desa-desa terpencil, guru-guru (non Pegawai Negeri) hanya dibayar Rp 1.500/perjam bahkan ada yang dibayar sejuta ucapan terima kasih utamanya guru ngaji di surau. Tapi tidak terlihat mereka mengerutkan kening. Mungkin saja dalam benak mereka merasa merdeka dengan menularkan ilmu kepada anak didik.
Guru yang pragmatis tentu berbeda. Mereka memandang kalau anak didik hanyalah sekumpulan ladang bisnis. Kemudian yang ada dalam pikirannya adalah uang yang harus diterima setiap akhir bulan sebagai hasil jerih payahnya. Apakah guru yang pragmatis itu jelek? tidak juga. Guru juga manusia yang butuh sandang, papan dan pangan. Kalau tidak dipenuhi bagaimana merka bisa memenuhi kebutuhan hidup. Kalau sudah kerepotan mencari tambahan hidup apakah mereka bisa berjuang untuk mendidik generasi muda bangsa. Secara umum tanpa membedakan model idealis dan pragmatis, arti kemerdekaan adalah mendidik generasi muda yang akan menggantikan generasi tua baik ada imbalan atau tak ada imbalan setelahnya.
Kemerdekaan bagi para pengangguran
Berapa banyak lulusan sekolah hingga perguruan tinggi dalam setahun? Ribuan bahkan ratusan ribu. Kemudian bekerja? Tidak banyak. Mungkin sebagian sedangkan yang lainnya seolah-olah menjadi sampah. Nasib tidak menentu. Ada banyak Sarjana pendidikan yang kerepotan mencari tempat mengabdi, sarjana ekonomi tak tahu harus ke Bank mana, sarjana pertanian tak bisa berbuat apa-apa, Sarjana hukum sudah menjadi pegawai jalanan, dan ribuan lagi ahli profesi yang tak tahu harus kemana. Mereka terbelenggu oleh predikat sarjana. Akhirnya takut untuk banting setir. Bekerja tanpa mengindahkan status kesarjanaan. Kalau saja masih terbayang duduk di belakang meja memegang pena, rapat sana sini, entah berapa puluh tahun lagi para pengangguran itu akan menuai kebebasan. Kalau yang tanpa pendidikan tinggi saja mampu mendobrak lapangan kerja baru, mengapa sarjana yang lebih dekat dengan dunia intelektual masih takut-takut mencari celah sendiri.
Kalau saja negeri ini tidak merdeka 62 tahun yang lalu, mungkin para balita tak akan merasakan benar-benar kemerdekaan bermain, anak-anak SD tak berani main layangan karena tentara Belanda atau Jepang sedikit-sedikit main bedil. Mungkin para remaja tak menemukan ekspresi kreativitas atau tidak menemukan tempat untuk mabuk. Mungkin para guru harus mengajar diam-diam karena takut disangka ekstrimis. Tapi yang baik tentu bagi para pengangguran karena Belanda menyediakan kerja rodi bagi mereka.
Semoga momen kemerdekaan ini menjadikan kita lebih banyak bersyukur. Amin.

No comments: